Tarmizi (10413249010)
Ayu Alfa Nabela NF (11413244027)
PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2011/NR
Tugas Analisis Sosdeskot
SEJARAH
KOTA JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI
Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia.
Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi.
Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan
nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619) Batavia / Batauia,
atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta
memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang
berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di
Indonesia atau urutan keenam dunia. Kota metropolitan yang
tidak pernah sepi dari berbagai macam aktifitas, pariwisata, hiburan, ekonomi,
perdagangan sampai politik. Kota dimana sebagai pusat pemerintahan negara ini,
memang memiliki daya tarik tersendiri yang membuat banyak kalangan dari
berbagai latar suku, kebudayaan, dan daerah berbondong-bondong datang dan
‘mengadu nasib’ disini.
Dimulai dari Abad
ke-14 dengan nama sebutan Sunda Kelapa. Daerah Sunda
Kelapa dikenal sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran kerajaan
yang menjadi pusat perdagangan, politik dan ekonomi bagi wilayah Hindia Belanda
(bagian barat). Kemudian, pada tanggal 22
Juni 1527 Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Penggantian nama yang berarti Kota
Kemenangan ini, diberikan oleh Fatahilah sebagai penanda
kemenangan pasukan pimpinannya, mengusir penjajahan Portugis atas pendudukannya
di wilayah kerajaan Padjajaran. Kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai
hari jadi kota Jakarta sampai sekarang (keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
Namun, pada 4 Maret 1621 setelah Belanda memasuki wilayah
Jayakarta, oleh Belanda untuk pertama kalinya Jayakarta yang merupakan kerajaan
diubah bentuk pemerintahannya menjadi kota bernama Stad Batavia.
Pada 1 April 1905 berubah nama menjadi Gemeente Batavia.
Berlanjut, 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad
Gemeente Batavia. Setelah
Jepang memasuki Batavia, pada 8 Agustus 1942 oleh Jepang nama
Batavia diubah menjadi Jakarta Toko Betsu Shi. Namun,
setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu setelah kekalahannya di
Perang Dunia ke II dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada September
1945 di masa kemerdekaan Indonesia, pemerintah kota Jakarta
mengikrarkan nama baru untuk wilayah ini menjadi Pemerintah Nasional
Kota Jakarta. 20
Februari 1950 dalam masa Pemerintahan Pre Federal dibawah
pemerintahan NICA, Jakarta kembali berubah nama menjadi Stad Gemeente
Batavia. Baru genap satu bulan, pada 24 Maret 1950 nama kota diganti menjadi Kota
Praj'a Jakarta. Setelah
kedudukan Jakarta dinyatakan sebagai daerah swatantra maka pada 18
Januari 1958 dinamakan Kota Praja Djakarta Raya. Dan di tahun
1961 dibentuklah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (dengan
PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961).
Nama Daerah Khusus Ibukota Jakarta sendiri, seperti
yang kita sebut sekarang ini, resmi ditetapkan pada 31 Agustus 1964 berpedoman
pada UU No. 10 tahun 1964 dan tetap dinyatakan sebagai Ibukota Negara Republik
Indonesia dengan nama Jakarta (dikuatkan dengan undang-undang Nomor 29 tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Kemudian, pada
perkembangannya, setelah masa reformasi, pada tahun1999 melalui UU no 34 tahun 1999 tentang Pemerintah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, sebutan
pemerintah daerah berubah menjadi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, dan dengan
otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, yaitu Provinsi
DKI Jakarta. Selain itu, wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 6 wilayah
yaitu 5 wilayah kotamadya dan satu wilayah kabupaten administrative, Kepulauan
Seribu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700).
SEJARAH
KOTA YOGYAKARTA
Kata ngayogya dari kata
dasar yogya yang artinya pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang
baik dan kata artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai
kesejahteraan (bagi negeri dan rakyatnya). Nama tersebut bukan di ciptakan oleh
pendiri keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sulatn Hamengkubuwono
I), tetapi di cita-citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya, yakni Paku Buwana
I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke 2 keraton Kartasura. Situs pusat
keraton Mataram II yang pertama terletak di Ngeksigondo yang masih dapat kita
lihat sisa bangunan yang terbuat dari batu bata dan nama kawasan yang hingga
kini tetap di gunakan seperti Banguntapan, Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa,
Gedong Tengen, bekas pemandian Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gedhe),
kompleks makam Senopaten dan yang lainnya yang tersebar satu kilometer sebelah
utara hingga selatan kota Gede. Alas Paberingan yang terletak sekitar 5 kilometer
sebelah barat Ngeksigondo, pada masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati telah
di bangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar keliling bambu (krapyak) untuk
perburuan kijang, di namakan alas Krapyak. Di situ pula Hanyakrawati terluka
parah hingga akhirnya wafat, di bunuh oleh pejabat istanannya sendiri Pangeran
Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Karena peristiwa itulah Hanyakrawati di
kenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Konon menjelang akhir
pemerintahan Sunan Amangkurat I - Tegal Arum (1646–1677) mendapat wisik bahwa
alas Paberingan kejatuhan wahyu keraton. Sehingga ia bermaksud memindahkan
keraton Ngeksigondo ke hutan tersebut, telah di mulai dengan membangun
bentengnya. Calon kraton itu akan di namakan Garjitawati yang artinya osiking
raos ingkang sejatos (kata hati yang murni). Rencana itu tidak berlanjut sebab
keraton Mataram keburu di rebut pemberontak Trunojoyo yang di dukung rakyat,
menentang Amangkurat I yang mengakui kedaulatan penjajah Belanda dan bertindak
kejam membantai 6000 santri Giri dan juga kerabat dekatnya sendiri. Dengan
betuan pasukan Banyumas dan Bagelen/ Kebumen pemberontakan Trunojoyo dapat di
tumpas dan Amangkurat Jawa (P Anom Amral) dengan gelar Amangkurat II – (1677 –
1678). Kotaraja yang rusak di pindah ke Kreta (yang artinya aman sejahtera). Setahun
setelah perjanjian Giyanti di tandatangani 1755, Alas Paberingan di bangun
secara bertahap menjadi kompleks keraton dan dinamakan keraton Ngayogyakarata
Hadiningrat, lengkap dengan segala taman- tamannya seperti Taman Sari, Kali
Larangan untuk mengisi Segaran dengan Pulau Kenanga di tengahnya yang dinamakan
Yasa Kambang dan Panggung Krayak di luar benteng keraton seperti yang kita
saksikan sekarang. Arsitek yang di tugasi membangun adalah T Mangundipura.
PROSES SOSIALISASI MASYARAKAT KOTA JAKARTA
DAN KOTA YOGYAKARTA
1.
Kota
Jakarta
Pada dasarnya manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri atau dengan kata lain membutuhkan
bantuan orang lain. Dari aktifitas kehidupan kita yang terbesar sampai
aktifitas kehidupan kita yang terkecil sebenarnya sangat membutuhkan bantuan
dari orang lain. Seperti contoh, makanan pokok kita beras yang kita dapatkan
dari hasil kerja keras para petani. Dari salah satu contoh tersebut, sudah
terlihat ketergantungan kita pada makhluk lain, bukan hanya dari manusia tetapi
juga dari makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan. Memang pada hakekatnya kita
sebagai makhluk sosial harus saling tolong menolong dan menghindarkan sikap
acuh tak acuh terhadap sesama. Kehidupan sosial yang baik dapat digambarkan
dengan sikap saling tolong menolong, peduli terhadap lingkungan sekitar, saling
mempunyai tenggang rasa, melakukan musyawarah dan mufakat dalam mengambil
keputusan dan banyak lagi contoh-contoh kehidupan sosial lainnya. Hal-hal
tersebut dapat kita lihat dalam lingkungan sekitar kita, misalnya salaing
tolong menolong dalam membersihkan lingkungan sekitar kita secara bersama-sama,
contoh lain seperti menjenguk tetangga atau teman yang sedang sakit. Walaupun
kegiatan-kegiatan sosial yang kita lakukan terlihat begitu sepele tapi semua
itu dapat membawa dampak yang baik diantara anggota masyarakat jika hubungan
sosial dilakukan dengan cara yang benar dan dapat saling memahami. Proses
sosialisasi seperti ini dulu sangat sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat
kita, seperti kegiatan saling mengantarkan makanan kepada tetangga saat
merayakan hari raya kebesaran, tetapi pada saat sekarang ini sangat jarang
dijumpai di ibu kota seperti Jakarta kegiatan-kegiatan seperti itu.
Kehidupan sosial di
kota Jakarta semakin merosot disebabkan semakin berkembangnya sikap
individualistis didalam diri masing-masing anggota masyarakat. Selain itu juga
adanya rasa tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, mereka hanya peduli
terhadap kepentingan diri sendiri. Kemerosotan kehidupan sosial juga disebabkan
oleh banyaknya anggota masyarakat yang merasa sibuk dengan pekerjaan mereka
ataupun kegiatan-kegiatan mereka yang lain. Dengan terjadinya kemerosotan
kehidupan sosial di kota Jakarta selain berdampak pada tidak seimbangnya kehidupan
sosial yang ada pada masyarakat, juga dapat berdampak terjadinya kesenjangan
sosial dalam masyarakat. Kesenjangan sosial tersebut akan membuat dampak yang
tidak baik untuk kehidupan sosial didalam masyarakat tersebut, misalnya
timbulnya konflik sosial. Oleh karena itu, seharusnya proses sosialisasi dalam
masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Status dan peran
sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam bersosialisasi, kita harus
memperhatikan status dan peran setiap individu dalam masyarakat. Mengetahui
status dan peranan seseorang akan memudahkan kita untuk bersosialisasi. Dalam
masyarakat terdapat banyak peran dan status. Peran dan status seseorang
menentukan dalam kehidupan bersosial. Setiap anggota masyarakat pasti mempunyai
peranan masing-masing dalam kehidupan sosial. Orang tua berperan mendidik
anaknya. Dalam contoh tersebut orang tua adalah status, sedangkan mendidik anak
adalah peran. Jadi, peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang
sesuai dengan status (kedudukan) yang dimilikinya.
Arus globalisasi yang
begitu cepat dimana masyarakat kota dituntut untuk mengikuti perkembangannya
menyebabkan semakin tingginya sikap individul anggotanya. Mereka semakin sibuk
dengan dunianya masing-masing. Pekerjaan dan kesibukan yang padat sangat
meenuntut kehidupan sosial mereka untuk bersaing dengan para pesaing lainnya.
Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kehidupan sekitarnya seperti
keluarga dan lingkungan. Keluarga yang seharusnya menjadi wadah utama bagi anak
untuk mendapatkan sosialisasi malah menuntun anak mencari kesibukan sendiri
dengan teman sebayanya.
2.
Kota
Yogyakarta
Kehidupan sosial masyarakat Kota Yogyakarta sekarang ini sudah bercampur baur
menjadi satu antara pribumi dan masyarakat pendatang, antara tradisional dengan
modern, antara desa dengan kota, antara kaya dan miskin. Nyaris kabur perbedaan
antara dua kelompok tersebut. Hanya saja pada status-status tertentu masih
terlihat membedakan antara yang atas dan yang bawah. Biasanya dijumpai di
masyarakat kepegawaian yang ada struktur dan yang “berdarah biru” atau
berhubungan dengan kraton.
Jika ingin dilihat perbedaanya antara orang asli Yogyakarta dan bukan, bisa
dilihat dari pengunaan bahasa Indonesia yang khas Yogyakarta (bahasa Indonesia
dialek Jawa). Namun generasi muda kota yang asli Yogyakarta kini cenderung
sudah meniggalkan dialek khas itu, dan banyak juga yang ditemukan ramaja kota
yang tergolong “anak gaul” tetap mempertahankan bahasa Jawa sebagai bahasa yang
lebih gaul dari bahasa lain. Jika ingin melihat masyarakat tradisoanal maka
lokasinya berada di pingiran kota atau lebih banyak masyarakat tradisonal
berada di daerah desa-desa kabupaten. Kota Yogyakarta sekarang ini lebih didominasi
oleh hal-hal yang berbau modern, (seperti fenomena keberadaan pusat
pembelanjaan modern Matahari Mall, Ramayana Mall, Jogja Elektronik, Galeria
Mall, Diamon Shapir, Ambarukmo Plaza, Hero Supermarket, KFC Kentucky Fried
Chicken, Mc Donald).
Dengan melihat adanya pusat perbelanjaan yang bertipe modern bisa di
pastikan bahwa kaum pemodal Kapitalis di Yogyakarta sedang memainkan
perannya dengan melihat pasar yang sangat mendukung. Sisi unik dari fenomena
ini adalah pasar tradisional bertahan juga yaitu pasar Bringharjo sebelah timur
Malioboro yang berdiri megah berlantai tiga, dan masih banyak pasar tradisional
yang lain seperti pasar tradisional Gejayan juga menjadi andalan masyarakat
Yogyakarta.
Perubahan yang terjadi di kota Yogyakarta karena akibat dari kosekuensi
ragam julukan yang disandang Yogyakarta itu sendiri dengan berbagai
predikatnya. Misalnya, Yogyakarta Kota pendidikan (dengan ratusan universitas),
maka ribuan calon mahasiswa memadati kota ini. Yoyakarta Kota Pariwisata, maka
ribuan pelancong tiap tahun mampir ke kota ini (perputaran ekonomi meningkat),
demikian juga dengan konsekuensi adanya julukan lain yang disandang oleh
Yogyakarta. Namun yang menarik dari Yogyakarta dan membedakan dengan propinsi
lain adalah semakin kuatnya arus dan trend Globalisasi, tidak terkikisnya
budaya original-nya walaupun di sekitar masyarakat terdapat banyak budaya luar
atau budaya asing bahkan budaya Barat-pun tidak bermasalah keberadaanya di kota
ini.
Seiring
dengan semakin beragamnya individu-individu yang ada di kota, maka
akomodatif suatu kota dari hari-kehari terus mengalami peningkatan. Fasilitas kenyamanan
publik terus dalam proses pembenahan diri (seperti adanya TransJogja), muncul
yang baru Hospital International Jl.Ringrod Utara. Ciri dari masyarakat kota
adalah kebutuhan masyarakat kota semakin beragam, dan kebutuhan terhadap aneka
ragam masyarakat kota telah membuat Yogyakarta termasuk ke dalam sasaran pasar,
(taget si-pemodal) hal ini tidak bisa dielakan. Sehingga pelan-pelan dua
kelompok masyarakat kota (contoh diatas) secara umum (dominan) terbawa
dengan arus konsumerisme dan konsumtif yang berpotensi besar.
Saat ini Yogyakarta khususnya di wilayah perkotaan terdapat berbagai etnis
penduduk dari seluruh Indonesia, walau penduduk asli masih berada dalam
komposisi teratas dan masih dominan dalam berbagai peran kemasyarakatan.
Penduduk pendatang dari berbagai suku ini membentuk semacam “miniatur culturnya
Indonesia” di Yogyakarta. Mereka datang ke Yogyakarta dengan berbagai
kepentingan. Bidang pendidikan menjadi tujuan utama para pendatang ke
Yogyakarta, menyusul pekerjaan, perdagangan dan bidang-bidang lain termasuk
sektor informal. Para pendatang ini sebagaian besar merupakan penduduk musiman
di Yogyakarta, seperti mahasiswa, buruh kerja, dan perantau lainnya. Secara
administratif, banyak diantara mereka yang tidak terdata. Sehingga bisa dipahami
bahwa secara definitif problem jumlah penduduk jauh lebih besar dari yang
tertuang dalam catatan statistik yang ada.
Relativitas tinggal para pendatang kadang menjadi alasan tidak perlunya
mengikuti ketentuan-ketentuan administratif yang ada. Mereka silih berganti
datang dan pergi sepanjang tahun, mereka secara estafet berada di Yogyakarta.
Kini ribuan pendatang itu bercampur baur dengan penduduk pribumi dengan jumlah
total l4.3640.000 (+/-) tahun (2008), di kotamadya 511.744 jiwa tahun (2004) kepadatan kotamadya 15.601,2/km².
Banyaknya masyarakat yang tinggal di Kota Yogyakarta dari berbagai penjuru daerah
menyebabkan banyaknya perbedaan yang ada didalamnya. Perbedaan dalam hal agama,
suku bangsa, status dan lain sebagainya. Namun hal tersebut tidak membuat
masyarakat Kota Yogyakarta merasa berbangga diri. Justru mereka merasa harus
bersikap ramah dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Antara anggota
masyarakat saling membutuhkan dan disatukan oleh satu tujuan. Antara penduduk
asli dengan para pendatang saling melengkapi. Di kota inilah semua orang bisa
memanfaatkan semua fasilitas yang ada. Mereka bisa mencari uang, mendapatkan
pendidikan dan lain sebagainya. Banyak hal yang dijanjikan di Kota budaya ini.
Sosialisasi yang ada pun beragam karena banyaknya perbedaan. Dengan perbedaan
yang ada, masyarakat kota Yogyakarta mampu mengatasi perbedaan yang ada dengan
sikap yang terbuka dan kepedulian.