Kamis, 13 Juni 2013

Sosio Desa Kota


Tarmizi                        (10413249010)
Ayu Alfa Nabela NF  (11413244027)
PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2011/NR
Tugas Analisis Sosdeskot

SEJARAH KOTA JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619)  Batavia / Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972). Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Kota metropolitan yang tidak pernah sepi dari berbagai macam aktifitas, pariwisata, hiburan, ekonomi, perdagangan sampai politik. Kota dimana sebagai pusat pemerintahan negara ini, memang memiliki daya tarik tersendiri yang membuat banyak kalangan dari berbagai latar suku, kebudayaan, dan daerah berbondong-bondong datang dan ‘mengadu nasib’ disini.
Dimulai dari Abad ke-14 dengan nama sebutan Sunda Kelapa. Daerah Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran kerajaan yang menjadi pusat perdagangan, politik dan ekonomi bagi wilayah Hindia Belanda (bagian barat).  Kemudian, pada tanggal 22 Juni 1527 Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta. Penggantian nama yang berarti Kota Kemenangan ini, diberikan oleh Fatahilah sebagai penanda kemenangan pasukan pimpinannya, mengusir penjajahan Portugis atas pendudukannya di wilayah kerajaan Padjajaran. Kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta sampai sekarang (keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956). Namun, pada 4 Maret 1621 setelah Belanda memasuki wilayah Jayakarta, oleh Belanda untuk pertama kalinya Jayakarta yang merupakan kerajaan diubah bentuk pemerintahannya menjadi  kota bernama Stad Batavia. Pada 1 April 1905 berubah nama menjadi Gemeente Batavia. Berlanjut, 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia. Setelah Jepang memasuki Batavia, pada 8 Agustus 1942 oleh Jepang nama Batavia diubah menjadi Jakarta Toko Betsu Shi. Namun,  setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu setelah kekalahannya di Perang Dunia ke II dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada September 1945 di masa kemerdekaan Indonesia, pemerintah kota Jakarta mengikrarkan nama baru untuk wilayah ini menjadi Pemerintah Nasional Kota Jakarta. 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan Pre Federal dibawah pemerintahan NICA, Jakarta kembali berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia. Baru genap satu bulan, pada 24 Maret 1950 nama kota diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta. Setelah kedudukan Jakarta dinyatakan sebagai daerah swatantra maka pada 18 Januari 1958 dinamakan Kota Praja Djakarta Raya. Dan di tahun 1961 dibentuklah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961).  Nama Daerah Khusus Ibukota Jakarta sendiri, seperti yang kita sebut sekarang ini, resmi ditetapkan pada 31 Agustus 1964 berpedoman pada UU No. 10 tahun 1964 dan tetap dinyatakan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta (dikuatkan dengan undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Kemudian, pada perkembangannya, setelah masa reformasi, pada tahun1999 melalui UU no 34 tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, yaitu Provinsi DKI Jakarta. Selain itu,  wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 6 wilayah yaitu 5 wilayah kotamadya dan satu wilayah kabupaten administrative, Kepulauan Seribu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700).

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA
Kata ngayogya dari kata dasar yogya yang artinya pantas, baik. Ngayogya artinya menuju cita-cita yang baik dan kata artinya aman, sejahtera. Ngayogyakarta artinya mencapai kesejahteraan (bagi negeri dan rakyatnya). Nama tersebut bukan di ciptakan oleh pendiri keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Pangeran Mangkubumi (Sulatn Hamengkubuwono I), tetapi di cita-citakan kurang lebih 37 tahun sebelumnya, yakni Paku Buwana I (Pangeran Puger, adik Amangkurat I), raja ke 2 keraton Kartasura. Situs pusat keraton Mataram II yang pertama terletak di Ngeksigondo yang masih dapat kita lihat sisa bangunan yang terbuat dari batu bata dan nama kawasan yang hingga kini tetap di gunakan seperti Banguntapan, Kanoman, Gedong Kuning, Gedong Kiwa, Gedong Tengen, bekas pemandian Warungbata, Winong, Sar Gedhe (jadi Kota Gedhe), kompleks makam Senopaten dan yang lainnya yang tersebar satu kilometer sebelah utara hingga selatan kota Gede. Alas Paberingan yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah barat Ngeksigondo, pada masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati telah di bangun menjadi hutan rekreasi raja berpagar keliling bambu (krapyak) untuk perburuan kijang, di namakan alas Krapyak. Di situ pula Hanyakrawati terluka parah hingga akhirnya wafat, di bunuh oleh pejabat istanannya sendiri Pangeran Wiramenggala (Kyai Ageng Bengkung). Karena peristiwa itulah Hanyakrawati di kenal sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Konon menjelang akhir pemerintahan Sunan Amangkurat I - Tegal Arum (1646–1677) mendapat wisik bahwa alas Paberingan kejatuhan wahyu keraton. Sehingga ia bermaksud memindahkan keraton Ngeksigondo ke hutan tersebut, telah di mulai dengan membangun bentengnya. Calon kraton itu akan di namakan Garjitawati yang artinya osiking raos ingkang sejatos (kata hati yang murni). Rencana itu tidak berlanjut sebab keraton Mataram keburu di rebut pemberontak Trunojoyo yang di dukung rakyat, menentang Amangkurat I yang mengakui kedaulatan penjajah Belanda dan bertindak kejam membantai 6000 santri Giri dan juga kerabat dekatnya sendiri. Dengan betuan pasukan Banyumas dan Bagelen/ Kebumen pemberontakan Trunojoyo dapat di tumpas dan Amangkurat Jawa (P Anom Amral) dengan gelar Amangkurat II – (1677 – 1678). Kotaraja yang rusak di pindah ke Kreta (yang artinya aman sejahtera). Setahun setelah perjanjian Giyanti di tandatangani 1755, Alas Paberingan di bangun secara bertahap menjadi kompleks keraton dan dinamakan keraton Ngayogyakarata Hadiningrat, lengkap dengan segala taman- tamannya seperti Taman Sari, Kali Larangan untuk mengisi Segaran dengan Pulau Kenanga di tengahnya yang dinamakan Yasa Kambang dan Panggung Krayak di luar benteng keraton seperti yang kita saksikan sekarang. Arsitek yang di tugasi membangun adalah T Mangundipura.

PROSES SOSIALISASI MASYARAKAT KOTA JAKARTA DAN KOTA YOGYAKARTA
1.       Kota Jakarta
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri atau dengan kata lain membutuhkan bantuan orang lain. Dari aktifitas kehidupan kita yang terbesar sampai aktifitas kehidupan kita yang terkecil sebenarnya sangat membutuhkan bantuan dari orang lain. Seperti contoh, makanan pokok kita beras yang kita dapatkan dari hasil kerja keras para petani. Dari salah satu contoh tersebut, sudah terlihat ketergantungan kita pada makhluk lain, bukan hanya dari manusia tetapi juga dari makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan. Memang pada hakekatnya kita sebagai makhluk sosial harus saling tolong menolong dan menghindarkan sikap acuh tak acuh terhadap sesama. Kehidupan sosial yang baik dapat digambarkan dengan sikap saling tolong menolong, peduli terhadap lingkungan sekitar, saling mempunyai tenggang rasa, melakukan musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan dan banyak lagi contoh-contoh kehidupan sosial lainnya. Hal-hal tersebut dapat kita lihat dalam lingkungan sekitar kita, misalnya salaing tolong menolong dalam membersihkan lingkungan sekitar kita secara bersama-sama, contoh lain seperti menjenguk tetangga atau teman yang sedang sakit. Walaupun kegiatan-kegiatan sosial yang kita lakukan terlihat begitu sepele tapi semua itu dapat membawa dampak yang baik diantara anggota masyarakat jika hubungan sosial dilakukan dengan cara yang benar dan dapat saling memahami. Proses sosialisasi seperti ini dulu sangat sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat kita, seperti kegiatan saling mengantarkan makanan kepada tetangga saat merayakan hari raya kebesaran, tetapi pada saat sekarang ini sangat jarang dijumpai di ibu kota seperti Jakarta kegiatan-kegiatan seperti itu.
Kehidupan sosial di kota Jakarta semakin merosot disebabkan semakin berkembangnya sikap individualistis didalam diri masing-masing anggota masyarakat. Selain itu juga adanya rasa tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, mereka hanya peduli terhadap kepentingan diri sendiri. Kemerosotan kehidupan sosial juga disebabkan oleh banyaknya anggota masyarakat yang merasa sibuk dengan pekerjaan mereka ataupun kegiatan-kegiatan mereka yang lain. Dengan terjadinya kemerosotan kehidupan sosial di kota Jakarta selain berdampak pada tidak seimbangnya kehidupan sosial yang ada pada masyarakat, juga dapat berdampak terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Kesenjangan sosial tersebut akan membuat dampak yang tidak baik untuk kehidupan sosial didalam masyarakat tersebut, misalnya timbulnya konflik sosial. Oleh karena itu, seharusnya proses sosialisasi dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Status dan peran sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam bersosialisasi, kita harus memperhatikan status dan peran setiap individu dalam masyarakat. Mengetahui status dan peranan seseorang akan memudahkan kita untuk bersosialisasi. Dalam masyarakat terdapat banyak peran dan status. Peran dan status seseorang menentukan dalam kehidupan bersosial. Setiap anggota masyarakat pasti mempunyai peranan masing-masing dalam kehidupan sosial. Orang tua berperan mendidik anaknya. Dalam contoh tersebut orang tua adalah status, sedangkan mendidik anak adalah peran. Jadi, peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang sesuai dengan status (kedudukan) yang dimilikinya.
Arus globalisasi yang begitu cepat dimana masyarakat kota dituntut untuk mengikuti perkembangannya menyebabkan semakin tingginya sikap individul anggotanya. Mereka semakin sibuk dengan dunianya masing-masing. Pekerjaan dan kesibukan yang padat sangat meenuntut kehidupan sosial mereka untuk bersaing dengan para pesaing lainnya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kehidupan sekitarnya seperti keluarga dan lingkungan. Keluarga yang seharusnya menjadi wadah utama bagi anak untuk mendapatkan sosialisasi malah menuntun anak mencari kesibukan sendiri dengan teman sebayanya.

2.       Kota Yogyakarta
Kehidupan sosial masyarakat Kota Yogyakarta sekarang ini sudah bercampur baur menjadi satu antara pribumi dan masyarakat pendatang, antara tradisional dengan modern, antara desa dengan kota, antara kaya dan miskin. Nyaris kabur perbedaan antara dua kelompok tersebut. Hanya saja pada status-status tertentu masih terlihat membedakan antara yang atas dan yang bawah. Biasanya dijumpai di masyarakat kepegawaian yang ada struktur dan yang “berdarah biru” atau berhubungan dengan kraton.
Jika ingin dilihat perbedaanya antara orang asli Yogyakarta dan bukan, bisa dilihat dari pengunaan bahasa Indonesia yang khas Yogyakarta (bahasa Indonesia dialek Jawa). Namun generasi muda kota yang asli Yogyakarta kini cenderung sudah meniggalkan dialek khas itu, dan banyak juga yang ditemukan ramaja kota yang tergolong “anak gaul” tetap mempertahankan bahasa Jawa sebagai bahasa yang lebih gaul dari bahasa lain. Jika ingin melihat masyarakat tradisoanal maka lokasinya berada di pingiran kota atau lebih banyak masyarakat tradisonal berada di daerah desa-desa kabupaten. Kota Yogyakarta sekarang ini lebih didominasi oleh hal-hal yang berbau modern, (seperti fenomena keberadaan pusat pembelanjaan modern Matahari Mall, Ramayana Mall, Jogja Elektronik, Galeria Mall, Diamon Shapir, Ambarukmo Plaza, Hero Supermarket, KFC Kentucky Fried Chicken, Mc Donald).
Dengan melihat adanya pusat perbelanjaan yang bertipe modern bisa di pastikan bahwa kaum pemodal Kapitalis di Yogyakarta sedang memainkan perannya dengan melihat pasar yang sangat mendukung. Sisi unik dari fenomena ini adalah pasar tradisional bertahan juga yaitu pasar Bringharjo sebelah timur Malioboro yang berdiri megah berlantai tiga, dan masih banyak pasar tradisional yang lain seperti pasar tradisional Gejayan juga menjadi andalan masyarakat Yogyakarta.
Perubahan yang terjadi di kota Yogyakarta  karena akibat dari kosekuensi  ragam julukan yang disandang Yogyakarta itu sendiri dengan berbagai predikatnya. Misalnya, Yogyakarta Kota pendidikan (dengan ratusan universitas), maka ribuan calon mahasiswa memadati kota ini. Yoyakarta Kota Pariwisata, maka ribuan pelancong tiap tahun mampir ke kota ini (perputaran ekonomi meningkat), demikian juga dengan konsekuensi adanya julukan lain yang disandang oleh Yogyakarta. Namun yang menarik dari Yogyakarta dan membedakan dengan propinsi lain adalah semakin kuatnya arus dan trend Globalisasi, tidak terkikisnya budaya original-nya walaupun di sekitar masyarakat terdapat banyak budaya luar atau budaya asing bahkan budaya Barat-pun tidak bermasalah keberadaanya di kota ini.
Seiring dengan semakin beragamnya individu-individu yang ada di kota,  maka akomodatif suatu kota dari hari-kehari terus mengalami peningkatan. Fasilitas kenyamanan publik terus dalam proses pembenahan diri (seperti adanya TransJogja), muncul yang baru Hospital International Jl.Ringrod Utara. Ciri dari masyarakat kota adalah kebutuhan masyarakat kota semakin beragam, dan kebutuhan terhadap aneka ragam masyarakat kota telah membuat Yogyakarta termasuk ke dalam sasaran pasar, (taget si-pemodal) hal ini tidak bisa dielakan. Sehingga pelan-pelan dua kelompok masyarakat kota (contoh diatas) secara umum (dominan) terbawa dengan arus konsumerisme dan konsumtif yang berpotensi besar.
Saat ini Yogyakarta khususnya di wilayah perkotaan terdapat berbagai etnis penduduk dari seluruh Indonesia, walau penduduk asli masih berada dalam komposisi teratas dan masih dominan dalam berbagai peran kemasyarakatan. Penduduk pendatang dari berbagai suku ini membentuk semacam “miniatur culturnya Indonesia” di Yogyakarta. Mereka datang ke Yogyakarta dengan berbagai kepentingan. Bidang pendidikan menjadi tujuan utama para pendatang ke Yogyakarta, menyusul pekerjaan, perdagangan dan bidang-bidang lain termasuk sektor informal. Para pendatang ini sebagaian besar merupakan penduduk musiman di Yogyakarta, seperti mahasiswa, buruh kerja, dan perantau lainnya. Secara administratif, banyak diantara mereka yang tidak terdata. Sehingga bisa dipahami bahwa secara definitif problem jumlah penduduk jauh lebih besar dari yang tertuang dalam catatan statistik yang ada.
Relativitas tinggal para pendatang kadang menjadi alasan tidak perlunya mengikuti ketentuan-ketentuan administratif yang ada. Mereka silih berganti datang dan pergi sepanjang tahun, mereka secara estafet berada di Yogyakarta. Kini ribuan pendatang itu bercampur baur dengan penduduk pribumi dengan jumlah total l4.3640.000 (+/-) tahun (2008), di kotamadya 511.744 jiwa tahun (2004) kepadatan kotamadya 15.601,2/km².
Banyaknya masyarakat yang tinggal di Kota Yogyakarta dari berbagai penjuru daerah menyebabkan banyaknya perbedaan yang ada didalamnya. Perbedaan dalam hal agama, suku bangsa, status dan lain sebagainya. Namun hal tersebut tidak membuat masyarakat Kota Yogyakarta merasa berbangga diri. Justru mereka merasa harus bersikap ramah dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Antara anggota masyarakat saling membutuhkan dan disatukan oleh satu tujuan. Antara penduduk asli dengan para pendatang saling melengkapi. Di kota inilah semua orang bisa memanfaatkan semua fasilitas yang ada. Mereka bisa mencari uang, mendapatkan pendidikan dan lain sebagainya. Banyak hal yang dijanjikan di Kota budaya ini. Sosialisasi yang ada pun beragam karena banyaknya perbedaan. Dengan perbedaan yang ada, masyarakat kota Yogyakarta mampu mengatasi perbedaan yang ada dengan sikap yang terbuka dan kepedulian.


Selasa, 18 Desember 2012

KONFLIK ETNIS


     A.   Penyebab Konflik antar Etnis
            Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut terjadi di wilayah yang terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah berdasarkan rentan waktu munculnya peradaban.

Kearifan Lokal dan Karakter Masyarakat Dusun Kinahrejo Lereng Merapi


Dusun Kinahrejo yang tadinya asri menjadi luluh lantak diterjang wedus gembel. Pohon-pohon besar yang rindang tinggal cerita. Erupsi Merapi 2010 meninggalkan kisah yang memilukan. Kini, kisah pilu tinggal kenangan. Bunga kembali bermekaran di dusun Kinahrejo. Roda kehidupan kembali ditata. Di antara pohon besar yang tumbang tanaman perdu tampak menghijau. Asa kembali membuncah, meski rasa pilu tetap menyeruak ketika mengingat masa lalu. Perlahan namun pasti, dusun Kinahrejo kembali berbenah. Luka dan penderitaan mulai dilupakan. Kehidupan baru dijalani.
. Ada banyak aktifitas di sana. Mulai dari aksi penanaman pohon, kaderasi, sampai dengan kegiatan wisata alam. Setidaknya, aktifitas pengunjung di sana pun mendatangkan berkah untuk masyarakat.
Masyarakat Kinahrejo yang menjadi korban bencana kehilangan orang yang mereka cintai. rumah dan harta benda mereka. Untuk bangkit dari kejadian tersebut masyarakat sekitar mendirikan Paguyuban masyarakat Kinahrejo untuk mempermudah penyaluran bantuan dan organisasi dalam pembangunan pasca bencana dan juga terkait dengan alokasi dana yang dihasilkan dari retribusi wisata Kinahrejo. Dana social tersebut diberikan kepada anak yatim dan lansia sebagai tali asih tanda persaudaraan .