Kamis, 06 Desember 2012

Hak minoritas dan mayoritas

A.    Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), dan isme (aliran/ paham). Secara hakiki, dalam kata multikulturalisme terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnyadengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Choirul Mahfud 2006: 75).
Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keagamaan, dan berbagau macam budaya (multikulural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, an politik yang mereka anut.


B.     Pengertian Hak Minoritas dan Kelompok Minoritas
Hak minoritas adalah sejumlah wewenang dan hal-hal yang seharusnya bisa diterima dan dinikmati, kepada sekelompok kecil orang dalam suatu etnis, perkumpulan, perhimpunan, organisasi, lembaga, atau bahkan negara dengan kelompok besar atau kelompok mayoritas dilingkungannya.
Menurut Parsudi Suparlan, kelompok minoritas merupakan orang-orang yang diperlakukan secara diskriminatif dalam masyarakat karena ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya berbeda. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai orang luar dalam masyarakat tempat hidup mereka,namun juga menempati posisi yang tidak menguntungkan, karena mereka tidak memperoleh akses terhadap sosial, ekonomi, dan politik.
Pengertian hak minoritas selalu dikaitkan dengan jumlah yang lebih kecil dibanding angka lawan yang lebih besar. Dalam pemahaman demokrasi, hak minoritas bisa disebut sebagai situasi dimana hak-hak kelompok yang lebih kecil seharusnya menjadi perhatian untuk dilindungi oleh kelompok mayoritas.
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaanya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Seperti pembatasan pada bidang ekonomi, politik, dan kesempatan sosial yang lain.
Terdapat empat hal menurut Hikmat Budiman, yang merupakan persoalan yang mengkhawatirkan. Pertama, batasan tentang minoritas sangat tergantung pada jumlah numeriknya. Kedua minoritas mengandaikan posisinya berada ada posisi yang tidak dominan, sementara isilah “dominan” itu sendiri tidak didfinisikan secara spesifik. Ketiga menjadi minoritas berarti terdapatnyan perbedaan yang cukup spesifik dari segi etnik, agama, dan bahasa. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok untuk memiliki solidaritas terhadap kultur, tradisi, agama, dan bahasa serta, membagi keinginan untuk meraih persamaan hukum dihadapan populasi yang lain.
Kelompok minoritas selalu berkaitan dan bertentangan dengan kelompok mayoritas atau kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak dalam suatu wilayah. Kelompok mayoritas mengembangkan prasangka terhadap kleompok minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarakan pada adanya:
a)       perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan.
b)      sebuah perasaan yang secara intrinsic ada dalam keyakinan meraka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan termasuk golongan orang asing.
c)      adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya tersebut.
C.    Keadaan Kelompok Minoritas di Indonesia
Dalam masyarakat yang menuju tahap modern, komnitas-komunitas minoritas umumnya menerima status subordinate mereka,dan terkurung dalam ruang-ruang sosial bahkan geografis yang diberikan kepada mereka oleh kelompok-kelompok dominan. Kondisi seperti ini berbeda dengan saat ini. Melalui menyebarnya gagasan mengenai demokrasi tentang kesamaan status dan hak, komunitas-komunitas minoritas sekarang menuntut kesamaan perakuan, termasuk pada penghapusan diskriminasi, kesamaan kesempatan,dan hal yang sama untuk berpartisipasi di dalam dan membentuk kehidupa dalam masyarakat yang mayoritas. Dalam beberapa tahun belakangan ini, persamaan perlakuan ditafsirkan secara luas bahwa negara tidak bisa di identikan dengan sebuah etnis, agama, dan kelompok cultural tertentu, dan harus netral atau adil dalam pendekatannya kepada komunitas-komunitas tersebut.
Kegagalan akomodasi terhadap kelompok-kelompok ini telah membawa dampak politis yang serius, mulai dari adanya ketidak patuhan sampai separatism. Dan yang identik dengan kaum separatism adalah kaum minoritas seperti kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tentang rasa saling memiliki warga terhadap negaranya baik mereka yang berasal dari kelompok minoritas maupun mayoritas. Dalam prateknya, konsepsi tentang rasa memiliki dipahami sebagai sebuah proses yang seolah berjalan satu arah, dari warga terhadap negaranya, dan jarang dilihat sebagai peristiwa timbale balik antara negara dan warga negaranya. Dalam film documenter To Mompalivu Bure (Orang-orang Pencari Garam) terdapat dialog antara pembuat film dan beberapa warga komunitas ToWana di kawasan Cagar Alam Morowali, kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Dalam salah satu percakapan film tersebut, salah seorang warga kadang-kadang masih menggunakan ungkapan “orang Indonesia” untuk merujuk kepada orang-orang yang tinggal di luar kawasan tempat tinggal mereka sekaligus membedakan dengan “orang Wana”. Hal ini bisa digunakan untuk memeriksa sejauh mana kehadiran negaradirasakan oleh dan tali-tali kebangsaan berhasil diikatkan kepada warga-warga komunitas minoritas di Indonesia selanjutnya.
D.    Hak Kelompok Minoritas
Hak kelompok minoritas telah diatur pasal 27 dan 18 Kovenan Internasional hak Sippil dan Politiik (Hak Sipol). Pasal tersebut menjamin hak komunitas atau kelompok, atu tepatnya hak seseorang dalam komunitasnya. Pasal 27 memuat hak-hak kelompok minoritas, smentara pasal 18 menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan memeluk agama atau kepercayaannya.
Selanjutnya, Komite Hak sipol pada tahun 1994 mengadpsi eaborasi dan penjelasan mengenai pasal 27. Dalam General Comment No. 23, setidaknya dapat diketahui lingkup “minoritas” yang eksis dalam sebuah negara (atau yurisdiksi/ territorial) dapat berbasiskan atas (1) etnis, (2) agama atau kepercayaan, dan (3) minoritas dalam ingkup bahasa.
1.      Kebebasan Bekeyakinan, emiliki Kepercayaan atau Agama
Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan Politik tentang kebebaasan berkeyakinan, memiliki kepercayaan dan agama sangat relevan untuk terus didialogkan.
      Pasal 18 dalam perlindungan dan pemenuhannya, berkaian erat dengan pasal 26 Kovenan Sipol perihal jaminan persamaan hak setiap warga, negara secara khusus berkaitan dengan jaminan hak-hak kelompok mnoritas.
2.      Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya
Sebagai contoh, perlindungan dan pemenuhan hak atas perumahan, pendidikan, kesehatan.
Perlindungan hak-hak ekonomi sosial budaya dari kelompok miinoritas juga dimuat dalam sejumlah Konvensi pokok hak asasi manusia. Hak atas pendidikan dan kesehatan, misalnya dimuat dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi hak-hak anak, dam Konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
           Berdasarkan ruang lingkup di atas, maka seorang yang menjadi anggota kelompok minoritas, leh negara wajib diberikan jaminan konstotusi dan hukum untuk menikmati kebudayaan, mempraktikan agamanya, dan menggunakan bahasa yang dimiliki.
E.     Dilema Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat majemuk belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat multicultural, karena adanya hubungan antar kekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni, dan konstestasi.
Masyarakat Indnesia yang telah melewati masa reformasi, konsep masyarakat multicultural bukan hanya sebagai wacana namun juga sebagai konsep sebuah ideology yang harus diperjuangkan.
Konsep multikulturalisme pada dasarnya mendukung gagasan mengenai perbedaan dan heterogenitas dan mendorong isu kesetaraan antar kelompok mayoritas dan minoritas. Poin multikulturalisme adalah apakah diversitas etnik memperoleh status yang sama atau mengalami minoritas melalui kebijakan public yang diciptakan oleh negara.
Sudah banyak dibiarakan bahwa ketika secara gradual Orde Baru mulai terbentuk tahun 1966, banyak kalangan beranggapan bahwa ketegangan antara proses nation building dan keterikatan-keterikatan primordial sudah bukan lagi ancaman bagi negara. Ancaman bagi negara tidak akan lagi muncul dari bawah, dari ikatan komunal bangsa-bangsa yang berada di Indonesia, melainkan dari atas seperti korupsi dan problem-problem srtuktural lainnya.
F.     Problem Multikultralisme di Indonesia
Diversitas berdasarakan letak geografis, demografi, sejarah bahkan sampai kemajuan sosial ekonomi di Indonesia dapat memicu problem multicultural di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1.      Keberagaman Identitas Budaya Daerah
Keberagaman identitas budaya daerahs selain menjadi dasar terbentuknya multikulturalisme di Indonesia juga menjadi pemicu yang cukup kuat untuk terjadinya konflik dalam  multikulturalisme di Indonesia. Masalah ini muncul karena kurangnya komunikasi dan pemahaman antar daerah. Sebagai contoh adalah adanya kasus antara kaum Suni dan kau Siah yang terjadi di wilayah Sampang Madura.
Dalam mengatasi hal tersebut,  pertama diperlukan suatu manajemen konflik, agar potensi konflik dapat diketahui secara dini untuk menentukan pemecahan dalam konflik tersebut, kedua, adanya pendidikan multicultural, dimana melalui pendidikan multicultural masyarkat mampu memahami dan berkomunikasi dengan masyarakat lain yang berbeda kebudayaannya.
2.      Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Ketika sesuatu hal bersentuhan dengan kekuasaan, maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu termasuk isu kedaerahan.
3.      Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keberagaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan seluruh perbedaan di negeri ini. Semakin tingginya sentiment antar masyarakat yang berbeda budaya dalam negara ini mempunya dampak positif maupn negatif. salah satu dampat positif adalah mampu menggunakn budaya sebagai ketahanan nasional, namun dampak negatifnya adalah ketika terjadi konflik maka nasionalisme yang sudah terbangun baik dari ketahanan budaya akan hilang begitu saja, dan terjadi etnpsentrisme.
Nasionalisme perlu ditegakan namun dengan cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi buakan dengan pengarahan kekuatan. Sejarah telah menunjukan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda.
4.      Fanatisme Sempit
Fanatisme salah satu hal yang diperlukan dalam kecintaan kita pada budaya kita. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yaitu memandang kebudayaan kita lebih baik daripada kebuayaan kelompok lain dan kelompok lain harus dimusuhi.
Terjadnya konflik antara oknum aparat kepolisian dengan aparatTNI merupakan salah satu contoh dari fanatisme sempit. Apabila hal ini membaur dengan hal agama maka akan dapat dipastikan terjadi disintegrasi bangsa.
5.      Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Adanya tarik menarik antara kesatuan nasional dan mutikultural mampu mengakibatkan adanya konflik yang berdamapak pada disintegrasi bangsa, seperti gerakan separatis yang terjadi di daerah Aceh yaitu Gerakan Aceh Merdeka.
Memberi tempat dan pengakuan terhadap kaum minoritas seperti ini, mampu mengurangi al yang tidak diinginkan seperti gerakan separatis ari kaum minoritas yang menganggap lekompoknya kurang diakui oleh pemerintah pusat.
6.      Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata diantara Kelompok
     Banyak konflik di tanah air yang terjadi akibat ketidak meratanya kesejahteraan ekonomi yang terjadi antara kelompok mapan dan kelompok yang merasa mendapat kurang kesejahteraa ekonomi. Contoh dari persoalan ini adalah kaum buruh yang sering bertindak anarkis karena permasalahan ekonomi.
     Peningkatan kesejahteraan kepada kelompok minoritas oleh pemerintah dapat dilakukan dengan penyediaan fasilitask kerja seperti peminjaman modal usaha untuk kaum minoritas, dengan catatan kaum minoritas mantaati peraturan yang disepakati.
           Selain ke enam hal diatas, problem multiculturalisme juga datang ar problem minoritas di Indonesia yang memiliki dimensi persoalan yang sangat menarik tapi sekaligus juga rumit. Salah satunya adalah tentang problematik msyarakat pribumi dan non-pribumi. Masyarakat pribumi dikategorikan sebagai masyarakat yang mempunyai jumlah lebih banyak dan mepunyai daerah teritori dari sebuah negara. Dan masyarakat non pribumi kebalikan dari itu. Masyarakat suku Batak dikatakan masyarakat pribumi karena memiliki wilayah teritori di negara Indonesia daripada etnis Tionghoa yang berada di Indonesia, namun apabila dilihat dari jumlahnya dimana etnis Tionghoa lebih banyak dari masyarakat suku Batak dan etnis Tionghoa tidak dikatakan sbagai masyarakat pribumi.



Daftar Pustaka
Budiman, Hikmat. 2009. “Hak Minoritas (ethnos, demos, dan batas-batas multikuturalisme). Jakarta: The Interseksi Fondation
http:///J:/KULIAH/masy.%20multikultural/MASYARAKAT%20MULTIKULTURAL.htm diakses pada tanggal 14 September 2012 pukul 20.00 WIB





1 komentar:

  1. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus