A.
Pengertian
Multikulturalisme
Multikulturalisme secara etimologis
multikulturalisme dibentuk dari kata multi
(banyak), dan isme (aliran/ paham).
Secara hakiki, dalam kata multikulturalisme terkandung pengakuan akan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnyadengan kebudayaannya masing-masing yang
unik (Choirul Mahfud 2006: 75).
Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Multikulturalisme adalah istilah yang
digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di
dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
adanya keagamaan, dan berbagau macam budaya (multikulural) yang ada dalam
kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, an
politik yang mereka anut.
B.
Pengertian
Hak Minoritas dan Kelompok Minoritas
Hak minoritas adalah sejumlah wewenang
dan hal-hal yang seharusnya bisa diterima dan dinikmati, kepada sekelompok
kecil orang dalam suatu etnis, perkumpulan, perhimpunan, organisasi, lembaga, atau bahkan
negara dengan kelompok besar atau kelompok mayoritas dilingkungannya.
Menurut Parsudi Suparlan, kelompok
minoritas merupakan orang-orang yang diperlakukan secara diskriminatif dalam
masyarakat karena ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau
kebudayaannya berbeda. Mereka tidak hanya diperlakukan sebagai orang luar dalam
masyarakat tempat hidup mereka,namun juga menempati posisi yang tidak
menguntungkan, karena mereka tidak memperoleh akses terhadap sosial, ekonomi,
dan politik.
Pengertian hak minoritas selalu
dikaitkan dengan jumlah yang lebih kecil dibanding angka lawan yang lebih
besar. Dalam pemahaman demokrasi, hak minoritas bisa disebut sebagai situasi dimana
hak-hak kelompok yang lebih kecil
seharusnya menjadi perhatian untuk dilindungi oleh kelompok mayoritas.
Kelompok minoritas adalah orang-orang
yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaanya
dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad
atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Karena itu mereka
merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Seperti pembatasan pada
bidang ekonomi, politik, dan kesempatan sosial yang lain.
Terdapat empat hal menurut Hikmat
Budiman, yang merupakan persoalan yang mengkhawatirkan. Pertama, batasan
tentang minoritas sangat tergantung pada jumlah numeriknya. Kedua minoritas
mengandaikan posisinya berada ada posisi yang tidak dominan, sementara isilah
“dominan” itu sendiri tidak didfinisikan secara spesifik. Ketiga menjadi
minoritas berarti terdapatnyan perbedaan yang cukup spesifik dari segi etnik,
agama, dan bahasa. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok
untuk memiliki solidaritas terhadap kultur, tradisi, agama, dan bahasa serta,
membagi keinginan untuk meraih persamaan hukum dihadapan populasi yang lain.
Kelompok minoritas selalu berkaitan dan
bertentangan dengan kelompok
mayoritas atau kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial
tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak dalam suatu wilayah. Kelompok
mayoritas mengembangkan prasangka terhadap kleompok minoritas yang ada dalam
masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarakan pada adanya:
a) perasaan superioritas pada mereka yang
tergolong dominan.
b) sebuah
perasaan yang secara intrinsic ada dalam keyakinan meraka bahwa golongan
minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan termasuk
golongan orang asing.
c) adanya
klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah
merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong
minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya tersebut.
C.
Keadaan
Kelompok Minoritas di Indonesia
Dalam
masyarakat yang menuju tahap modern, komnitas-komunitas minoritas umumnya menerima
status subordinate mereka,dan terkurung dalam ruang-ruang sosial bahkan
geografis yang diberikan kepada mereka oleh kelompok-kelompok dominan. Kondisi
seperti ini berbeda dengan saat ini. Melalui menyebarnya gagasan mengenai
demokrasi tentang kesamaan status dan hak,
komunitas-komunitas
minoritas sekarang menuntut
kesamaan perakuan, termasuk pada penghapusan diskriminasi, kesamaan
kesempatan,dan hal yang sama untuk berpartisipasi di dalam dan membentuk
kehidupa dalam masyarakat yang mayoritas. Dalam beberapa tahun belakangan ini,
persamaan perlakuan ditafsirkan secara luas bahwa negara tidak bisa di identikan dengan sebuah
etnis, agama, dan kelompok cultural tertentu, dan harus netral atau adil dalam
pendekatannya kepada komunitas-komunitas tersebut.
Kegagalan
akomodasi terhadap kelompok-kelompok ini telah membawa dampak politis yang
serius, mulai dari adanya ketidak patuhan sampai separatism. Dan yang identik
dengan kaum separatism adalah kaum
minoritas seperti kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tentang
rasa saling memiliki warga terhadap negaranya baik mereka yang berasal dari
kelompok minoritas maupun mayoritas. Dalam prateknya, konsepsi tentang rasa
memiliki dipahami sebagai sebuah proses yang seolah berjalan satu arah, dari
warga terhadap negaranya, dan jarang dilihat sebagai peristiwa timbale balik
antara negara dan warga negaranya. Dalam film documenter To Mompalivu Bure (Orang-orang Pencari Garam) terdapat dialog
antara pembuat film dan beberapa warga komunitas ToWana di kawasan Cagar Alam Morowali, kabupaten Morowali, Sulawesi
Tengah. Dalam salah satu percakapan film tersebut, salah seorang warga
kadang-kadang masih menggunakan ungkapan “orang Indonesia” untuk merujuk kepada
orang-orang yang tinggal di luar kawasan tempat tinggal mereka sekaligus
membedakan dengan “orang Wana”. Hal ini bisa
digunakan untuk memeriksa sejauh mana kehadiran negaradirasakan oleh dan
tali-tali kebangsaan berhasil diikatkan kepada warga-warga komunitas minoritas
di Indonesia selanjutnya.
D.
Hak
Kelompok Minoritas
Hak kelompok minoritas
telah diatur pasal 27 dan 18 Kovenan Internasional hak Sippil dan Politiik (Hak
Sipol). Pasal tersebut menjamin hak komunitas atau kelompok, atu tepatnya hak
seseorang dalam komunitasnya. Pasal 27 memuat hak-hak kelompok minoritas,
smentara pasal 18 menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan memeluk agama atau kepercayaannya.
Selanjutnya, Komite Hak
sipol pada tahun 1994 mengadpsi eaborasi dan penjelasan mengenai pasal 27.
Dalam General Comment No. 23, setidaknya dapat diketahui lingkup “minoritas”
yang eksis dalam sebuah negara (atau yurisdiksi/ territorial) dapat berbasiskan
atas (1) etnis, (2) agama atau kepercayaan, dan (3) minoritas dalam ingkup
bahasa.
1. Kebebasan
Bekeyakinan, emiliki Kepercayaan atau Agama
Pasal 18 Kovenan
Internasional Hak-hak sipil dan Politik tentang kebebaasan berkeyakinan,
memiliki kepercayaan dan agama sangat relevan untuk terus didialogkan.
Pasal
18 dalam perlindungan dan pemenuhannya, berkaian erat dengan pasal 26 Kovenan
Sipol perihal jaminan persamaan hak setiap warga, negara secara khusus
berkaitan dengan jaminan hak-hak kelompok mnoritas.
2. Perlindungan
dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya
Sebagai contoh,
perlindungan dan pemenuhan hak atas perumahan, pendidikan, kesehatan.
Perlindungan hak-hak
ekonomi sosial budaya dari kelompok miinoritas juga dimuat dalam sejumlah Konvensi
pokok hak asasi manusia. Hak atas pendidikan dan kesehatan, misalnya dimuat
dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi hak-hak anak, dam
Konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Berdasarkan ruang lingkup di atas,
maka seorang yang menjadi anggota kelompok minoritas, leh negara wajib
diberikan jaminan konstotusi dan hukum untuk menikmati kebudayaan, mempraktikan
agamanya, dan menggunakan bahasa yang dimiliki.
E.
Dilema
Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat
majemuk belum tentu dapat dinyatakan sebagai masyarakat multicultural, karena
adanya hubungan antar kekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris
yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni, dan konstestasi.
Masyarakat
Indnesia yang telah melewati masa reformasi, konsep masyarakat multicultural
bukan hanya sebagai wacana namun juga sebagai konsep sebuah ideology yang harus
diperjuangkan.
Konsep
multikulturalisme pada dasarnya mendukung gagasan mengenai perbedaan dan
heterogenitas dan mendorong isu kesetaraan antar kelompok mayoritas dan
minoritas. Poin multikulturalisme adalah apakah diversitas etnik memperoleh
status yang sama atau mengalami minoritas melalui kebijakan public yang
diciptakan oleh negara.
Sudah
banyak dibiarakan bahwa ketika secara gradual Orde Baru mulai terbentuk tahun
1966, banyak kalangan beranggapan bahwa ketegangan antara proses nation building dan
keterikatan-keterikatan primordial sudah bukan lagi ancaman bagi negara.
Ancaman bagi negara tidak akan lagi muncul dari bawah, dari ikatan komunal
bangsa-bangsa yang berada di Indonesia, melainkan dari atas seperti korupsi dan
problem-problem srtuktural lainnya.
F.
Problem
Multikultralisme di Indonesia
Diversitas
berdasarakan letak geografis, demografi, sejarah bahkan sampai kemajuan sosial
ekonomi di Indonesia dapat memicu problem multicultural di Indonesia, antara
lain sebagai berikut:
1. Keberagaman
Identitas Budaya Daerah
Keberagaman
identitas budaya daerahs selain menjadi dasar terbentuknya multikulturalisme di
Indonesia juga menjadi pemicu yang cukup kuat untuk terjadinya konflik
dalam multikulturalisme di Indonesia.
Masalah ini muncul karena kurangnya komunikasi dan pemahaman antar daerah.
Sebagai contoh adalah adanya kasus antara kaum Suni dan kau Siah yang terjadi
di wilayah Sampang Madura.
Dalam
mengatasi hal tersebut, pertama diperlukan
suatu manajemen konflik, agar potensi konflik dapat diketahui secara dini untuk
menentukan pemecahan dalam konflik tersebut, kedua, adanya pendidikan multicultural,
dimana melalui pendidikan multicultural masyarkat mampu memahami dan
berkomunikasi dengan masyarakat lain yang berbeda kebudayaannya.
2. Pergeseran
Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Dalam
arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa
dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Ketika sesuatu
hal bersentuhan dengan kekuasaan, maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk
merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu termasuk isu kedaerahan.
3. Kurang
Kokohnya Nasionalisme
Keberagaman
budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan seluruh perbedaan di
negeri ini. Semakin tingginya sentiment antar masyarakat yang berbeda budaya
dalam negara ini mempunya dampak positif maupn negatif. salah satu dampat
positif adalah mampu menggunakn budaya sebagai ketahanan nasional, namun dampak
negatifnya adalah ketika terjadi konflik maka nasionalisme yang sudah terbangun
baik dari ketahanan budaya akan hilang begitu saja, dan terjadi etnpsentrisme.
Nasionalisme
perlu ditegakan namun dengan cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi buakan
dengan pengarahan kekuatan. Sejarah telah menunjukan peranan Pancasila yang
kokoh untuk menyatukan masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda.
4. Fanatisme
Sempit
Fanatisme
salah satu hal yang diperlukan dalam kecintaan kita pada budaya kita. Namun
yang salah adalah fanatisme sempit, yaitu memandang kebudayaan kita lebih baik
daripada kebuayaan kelompok lain dan kelompok lain harus dimusuhi.
Terjadnya
konflik antara oknum aparat kepolisian dengan aparatTNI merupakan salah satu
contoh dari fanatisme sempit. Apabila hal ini membaur dengan hal agama maka
akan dapat dipastikan terjadi disintegrasi bangsa.
5. Konflik
Kesatuan Nasional dan Multikultural
Adanya
tarik menarik antara kesatuan nasional dan mutikultural mampu mengakibatkan
adanya konflik yang berdamapak pada disintegrasi bangsa, seperti gerakan
separatis yang terjadi di daerah Aceh yaitu Gerakan Aceh Merdeka.
Memberi
tempat dan pengakuan terhadap kaum minoritas seperti ini, mampu mengurangi al
yang tidak diinginkan seperti gerakan separatis ari kaum minoritas yang
menganggap lekompoknya kurang diakui oleh pemerintah pusat.
6.
Kesejahteraan Ekonomi
yang Tidak Merata diantara Kelompok
Banyak konflik di tanah air yang terjadi
akibat ketidak meratanya kesejahteraan ekonomi yang terjadi antara kelompok
mapan dan kelompok yang merasa mendapat kurang kesejahteraa ekonomi. Contoh
dari persoalan ini adalah kaum buruh yang sering bertindak anarkis karena
permasalahan ekonomi.
Peningkatan kesejahteraan kepada kelompok
minoritas oleh pemerintah dapat dilakukan dengan penyediaan fasilitask kerja
seperti peminjaman modal usaha untuk kaum minoritas, dengan catatan kaum
minoritas mantaati peraturan yang disepakati.
Selain
ke enam hal diatas, problem multiculturalisme juga datang ar problem minoritas
di Indonesia yang memiliki dimensi persoalan yang sangat menarik tapi sekaligus
juga rumit. Salah satunya adalah tentang problematik msyarakat pribumi dan
non-pribumi. Masyarakat pribumi dikategorikan sebagai masyarakat yang mempunyai
jumlah lebih banyak dan mepunyai daerah teritori dari sebuah negara. Dan
masyarakat non pribumi kebalikan dari itu. Masyarakat suku Batak dikatakan
masyarakat pribumi karena memiliki wilayah teritori di negara Indonesia
daripada etnis Tionghoa yang berada di Indonesia, namun apabila dilihat dari
jumlahnya dimana etnis Tionghoa lebih banyak dari masyarakat suku Batak dan
etnis Tionghoa tidak dikatakan sbagai masyarakat pribumi.
Daftar Pustaka
Budiman,
Hikmat. 2009. “Hak Minoritas (ethnos,
demos, dan batas-batas multikuturalisme). Jakarta: The Interseksi Fondation
http:///J:/KULIAH/masy.%20multikultural/MASYARAKAT%20MULTIKULTURAL.htm
diakses pada tanggal 14 September 2012 pukul 20.00 WIB
http://vive7.blogspot.com/2011/12/minoritas-dan-dilema-multikulturalisme.html diakses pada tanggal 14 September 2012 20.10
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/MASYARAKAT%20%20MULTIKULTURAL_0.pdf diakses pada tanggal 14 September pukul 20.30
http://file:///J:/KULIAH/masy.%20multikultural/Hak%20Minoritas%20di%20Indonesia%20%C2%AB%20gubugbudaya.htm
diakses pada tanggal 14 September pukul 20.35
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia