Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik
etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa
Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara tidak
terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini. Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut terjadi di wilayah yang
terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban
yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah berdasarkan rentan waktu
munculnya peradaban.
Asia dan
Afrika adalah dua benua yang memiliki sejarah peradaban tertua di dunia. dan
secara tidak sengaja, kedua benua ini memiliki berbagai macam etnis,ras,
ataupun suku bangsa. Tentu saja hal ini tidak dapat ditemui di benua Amerika
yang merupakan “peradaban baru” bentukan Eropa. Peradaban-peradaban ini sejak
dahulu selalu terlibat perang suku. Celakanya, perang antar suku dan ras yang
terjadi ini menyimpan dendam diantara semua pihak yang bertikai dan masih
terbawa hingga kini. Dengan demikian, Wolff menyimpulkan bahwa “ethnic
conflicts are based on ancient hatreds between groups fighting in them and
that”. Sebagian kecil konflik yang terjadi adalah akibat isu kontemporer
politik ataupun agama.
Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai
kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral
dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan
etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis. Misalnya
konflik etnis di Kalimantan antara suku dayak dan suku madura pendatang. Bagi
suku madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di
perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana
mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku dayak.
Kesalah fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura
yang menelan korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.
Konflik
etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak
mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua
komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997). Konflik etnis seringkali bernuansa
kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki
dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan warga Quebec
untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak
memiliki dimensi kekerasan sama sekali. Banyak konflik lokal suatu masyarakat
sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut
tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja
dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis
karena hakekat konfliknya adalah persoalan ideologi, bukan persoalan etnis.
Konflik
lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab
yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana
sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan
setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1)
Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3)
Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5)
Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Sementara
itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri
dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2)
karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul
kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain
hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang
menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang
lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya,
seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu
keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu
berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang
lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini
sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang
untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap
kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan
menjadi konflik.
B. Dampak dari Konflik antar Etnis
Konflik
dapat berdampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari konflik menurut
Ralf Dahrendorf yaitu perubahan seluruh personel di dalam posisi
dominasi. Kedua, perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi dan
ketiga, digabungnya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam
kebijaksanaan pihak yang berkuasa. Sedangkan menurut Lewis Coser adalah fungsi
konflik yang positif mungkin paling jelas dalam dinamika ingroup versus
outgroup. Kekuatan solidaritas internal dan integrasi ingroup bertambah tinggi
karena tinggkat permusuhan atau konflik dalam outgroup bertambah besar.
Sedangkan dampak negatif dari konflik yaitu keretakkan hubungan antarindividu
dan persatuan kelompok, kerusakkan harta benda benda dan hilangnya nyawa
manusia, berubahnya kepribadian para individu, dan munculnya dominasi kelompok
pemenang.
C. Upaya Penanggulangan Konflik antar
Etnis
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik
bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi
tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut
serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha
mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak
oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan
kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang
dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan
yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan,
dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian
yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little,
didasari itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang
ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial
dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat
nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik,
namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan
mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu
:
1. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan
oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang
memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan
memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari
dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga
tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan
pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang
bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik
tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak
mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan
mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Untuk mengurangi kasus konflik sosial diperlukan
suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan,
perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara
lain :
a. Membangun
dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b. Menciptakan
kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c. Membangun
kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan
kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan
pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya
bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan
bijaksana, serta efektif.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a. Aspek kualitas warga sukubangsa
1) Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental
secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di
Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu
keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau
konflik.
2) Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang
terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua
belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah
sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa
berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati
berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3) Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat
konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b. Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model
Patron-Klien.
Terjadinya
perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah
konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga
yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati
dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua
belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat
dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang
kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya
perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi
pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan
hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan.
Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para
tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron
dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar
permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh,
dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi
permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.
D. Teori yang Terkait:
1.
Teori
Konflik
Dalam suatu masyarakat akan selalu ada
kelompok atas yang menguasai kelompok bawah, kelompok ini dibagi berdasarkan
kekuasaan, kemampuan, kekayaan, kekuatan, dsb. Kelompok bawah (yang lemah) akan
“ditindas” dan menjalankan kehendak kelompok atas. Fenomena ini akhirnya memicu
timbulnya konflik antar kelompok. Selain hal tersebut kurangnya integrasi dalam
masyarakat, perbedaan paham atau kepentingan juga sebagai faktor timbulnya
konflik.
2.
Teori
Perubahan Sosial
Masyarakat tumbuh dan berkembang
menuju arah yang lebih baik atau lebih kompleks, namun proses mewujudkan hal
tersebut tidaklah mudah. Banyak hal yang kadang tidak mendukung perubahan
tersebut, akhirnya timbullah konflik.
3.
Teori
Struktural Fungsional
Suatu masyarakat memiliki struktur
sosial yang di dalamnya terdapat sistem, yang mana sistem- sistem tersebut
fungsi masing- masing. Apabila salah sistem tidak berfungsi, maka struktur
tersebut akan cacat. Kecacatan itulah yang dapat memicu timbulnya konflik
4.
Teori
Labeling
Labeling atau pemberian stigma pada seseorang atau suatu
kelompok dalam mempengaruhi pembentukan kepribadiaanya. Misalnya, suatu suku
diberikan stigma bahwa suku tersebut keras, senggol bacok. Maka suatu ketika
ada suku lain yang membuat hatinya tersinggung tidak dapat dipungkiri akan
muncul konflik antar kelompok yang bersangkutan.
5.
Teori
Interaksi
Dalam proses sosialisasi, interaksi adalah salah satu
faktor utama. Apabila interaksi sangat kurang, tidak ada pemahaman antara yang
satu dengan yang lain maka dapat mempengaruhi proses sosialisasi yang sedang
berlangsung. Kurangnya pemahaman dapat timbul konflik dalam masyarakat trsebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar