TEORI
SOSIOLOGI KLASIK
Teori sederhana biasanya selalu terungkap di
dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kali tanpa sadar kita sesungguhnya
telah berteori. Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk
memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada. Teori lahir karena
manusia membutuhkan pengetahuan.
Secara kategoris dapat dikatakan bahwa
pengetahuan terdiri atas unsur experiental reality dan agreement reality.
Experiental realitiy adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar pengalaman
kita sehari-hari, sedangkan agreement reality adalah pengetahuan yang kita
dapat berdasar kesepakatan bersama.
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita bisa
mendapatkan pengetahuan dari salah satu unsur yang ada, maka dalam ilmu
pengetahuan, pengetahuan didapat dengan mengombinasikan kedua unsur tersebut.
Dalam ilmu pengetahuan, pengembangan pengetahuan dilakukan bukan hanya dari
pengamatan langsung pada kenyataan, namun melalui proses pengujian dalam
pikiran manusia sendiri. Dalam konteks sosiologi, teori diklasifikasi ke dalam
tiga paradigma utama, yaitu order paradigm, pluralist paradigm, serta conflict
paradigm. Perbedaan dari masing-masing paradigma dilandaskan pada asumsi dasar
yang menyertainya dalam hal hakikat dasar manusia, masyarakat, serta ilmu pengetahuan.
Konstruksi Teori
Teori terbentuk berdasar beberapa komponen, yaitu
konsep, variabel, serta indikator. Teori sendiri diartikan sebagai sejumlah
pernyataan yang terangkai secara sistematis, dan dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan tentang suatu fenomena atau gejala. Komponen yang ada
dengan demikian terangkai di dalam pernyataan. Konsep diartikan sebagai
lambang, simbol atau kata yang berarti tentang sesuatu.
Konsep ada yang memiliki unidimensional (dimensi
tunggal) dan ada yang multidimensional. Dengan beragamnya konsep, maka perlu
adanya definisi dari konsep, yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain.
Dalam definisi konsep tersebut terkandung dimensi konsep dan juga kelompok
konsep (concept cluster). Variabel adalah konsep yang telah memiliki variasi
nilai. Variasi nilai dari konsep tersebut kita sebut sebagai kategori. Variabel
adalah konsep yang sudah terukur dan bersifat lebih empirik dibanding konsep.
Ukuran-ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur konsep adalah indikator.
Teori juga dibedakan ke dalam beberapa
klasifikasi, yaitu berdasar arah penalarannya kita bedakan antara teori yang
menggunakan pendekatan induktif dan teori yang menggunakan pendekatan deduktif,
berdasar tingkat kenyataan sosial teori dibedakan menjadi teori mikro, meso,
dan makro. Berdasar bentuk penjelasannya, teori dibedakan menjadi teori yang
menggunakan penjelasan kausal, teori yang menggunakan penjelasan struktural,
serta teori yang menggunakan penjelasan interpretif.
SEJARAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Kekuatan Sosial dalam Perkembangan Teori
Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta
kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif
tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para
ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan
perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan
menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana
bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan
kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal
perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme
di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.
Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori
Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang
melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus
perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi
industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme,
urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan
teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di
beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya
adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta
kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif
tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para
ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan
perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan
menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana
bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan
kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal
perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme
di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.
Teori Sosiologi Menjelang Abad
Ke-20 Perkembangan teori sosiologi pada abad ke-20 terjadi cukup pesat di
Amerika. Hal ini terdorong oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah perubahan
sosial masyarakat yang membutuhkan pemecahan berdasarkan bidang ilmu tertentu
secara cepat, dan didorong oleh perkembangan ilmu terutama di bidang
kemasyarakatan yang mampu mengkaji masyarakat secara ilmiah.
Perkembangan teori sosiologi
di Amerika diawali oleh perkembangan keilmuan di dua universitas, yaitu di
Chicago University dan Harvard University. Namun demikian, dalam perjalanan
waktu, sejalan dengan persebaran para tokoh sosiologi ke beberapa universitas
di seluruh negeri, muncul pula universitas-universitas lain yang dianggap mampu
melahirkan beberapa teori penting dalam bidang sosiologi, seperti Columbia
University dan University of Michigan.
Di Chicago University dikenal adanya sekelompok
pemikir sosial yang disebut kelompok Chicago School. Tokoh-tokoh sosiologi yang
penting dari tempat ini adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley,
George Herbert Mead, dan Everett Hughess. Di Harvard University, sosiologi
berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Talcott Parsons, Robert K. Merton,
Kingsley Davis, dan George Homans. Di samping itu, perkembangan teori sosiologi
di Amerika juga sedikitnya terpengaruh oleh sebuah teori yang sering
disebut-sebut sebagai teori di luar mainstream sosiologi di Amerika, yaitu
khasanah pemikiran dari kelompok teori Marxian.
Pengetahuan perkembangan teori di Amerika sangat
penting mengingat teori-teori yang berkembang di Amerika ini kemudian menjadi
pusat perhatian dunia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sejalan dengan teori
interaksionisme simbolik, bangkit pula teori pertukaran (exchange theory) yang
dikembangkan oleh George Homans berdasarkan pemikiran psychological behaviorism
dari B.F. Skinner.
Teori Sosiologi Setelah Pertengahan Abad
20
Perkembangan teori
struktural-fungsional terlihat dari hasil karya para penerus Parsons yang
diakui telah menyumbang teori struktural fungsional, seperti karya Kingsley
Davis dan Wilbert Moore. Pandangannya menerangkan bahwa stratifikasi adalah
suatu struktur yang secara fungsional diperlukan bagi keberadaan masyarakat.
Merton pun (1949) menjelaskan bahwa struktural fungsional harus menangani
fungsi positif dan konsekuensi yang negatif (disfunctions).
Seperti teori umumnya, teori struktural
fungsional pun mendapat kritikan dari beberapa ahli lainnya. Bahkan menjelang
tahun 1960, dominasi struktural fungsional dianggap telah mengalami
kemerosotan. Puncak dan kemerosotan dominasi struktural fungsional sejalan
dengan kedudukan (dominasi) masyarakat Amerika di dalam tatanan dunia.
Sejalan dengan perkembangan teori
sturktural-fungsional, terdapat teori konflik sebagai karya Peter Blau, yang
dianggap menjadi cerminan dari teori struktural-fungsional. Padahal pada
awalnya Blau dapat dikatakan sebagai pengembang teori marxian. Hampir mirip
dengan karya Blau, dalam analisis marxian, adalah karya Mill mengenai sosiologi
radikal.
Pada tahun 1950-an, Mills menulis sebuah buku
yang mengkaji masalah revolusi komunis di Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan
buku berjudul The Marxists. Keradikalan Mills dalam mengungkap fenomena sosial
menjadikannya ia tersingkir dan menjadi ahli pinggiran dalam kancah sosiologi
Amerika. Bukunya yang terkenal adalah The Sociological Imagination (1959). Isi
buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills terhadap Talcott Parsons.
Perkembangan selanjutnya adalah teori pertukaran
(exchange theory) yang dikembangkan berdasarkan pemikiran psychological
behaviorism. Dalam suasana kemunduran teori interaksionisme simbolik Goffman
mampu menempatkan pemikirannya sebagai awal kemunculan analisis dramaturgi yang
dianggap sebagai varian dari interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an muncul
teori-teori sosiologi yang dikenal dengan perspektif sosiologi kehidupan
sehari-hari (sociology of everyday life), yang dikenal pula dengan nama
sosiologi fenomenologis dan etnometodologi. Sedangkan perkembangan teori
sosiologi pada dekade 1980-an dan 1990-an di antaranya adalah teori integrasi
mikro-makro (micro-macro integration), integrasi struktur-agensi
(agency-structure integration), sintesis teoritis (theoritical syntheses), dan
metateori (metatheorizing).
MENGENAL DIRI DAN PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE
(1798-1857)
Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta
Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan. Auguste Comte adalah seseorang yang
untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu
kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat
ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan
telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste
Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi.
Auguste Comte pada dasarnya bukanlah orang
akademisi yang hidup di dalam kampus. Perjalanannya di dalam menimba ilmu
tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat perkenalannya dengan
Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte semakin terbuka, bahkan
mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste
Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup sederhana tetapi kehidupan
sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang dikenang orang secara luas
adalah filsafat positivisme, serta memberikan gambaran mengenai metode ilmiah
yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen, perbandingan, dan analisis
sejarah.
Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu,
Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Sosiologi adalah menyelidiki hukum-hukum tindakan
dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu
bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling
menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem
sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte
dapat diperoleh melalui 1) kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya
konsep statika sosial, dan 2) kajian perubahan atau perkembangan masyarakat
berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Comte
mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan
(action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem
sosial (Ritzer, 1996). Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya
mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang
berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala
sosial yang bersamaan waktu terjadinya.
HERBERT SPENCER
Riwayat HIdup dan Awal Karir
Herbert Spencer Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran
sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan
di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian
mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus
sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya
bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur
majalah The Economist yang saat itu terkenal.
Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar
biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya
tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang
pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai
masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia
mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner.
Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan
istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static
(1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain
menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa
diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896)
yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang
akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer
ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh
golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert
Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah
menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat.
Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan
Amerika
Pandangan Herbert Spencer tentang
Sosiologi
Spencer adalah orang yang
pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret.
Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar
atau tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi
yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First
Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2
fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui.
Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar
teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang
tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan
yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di
atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu
kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan
ada sesuatu irama dari gerakan.
Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada
hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam
proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer
seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen,
berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan
terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui
bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua
proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi
evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya,
Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3
bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal
muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan
lembaga-lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem
sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis
yang hidup berpencar-pencar.
2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
3.Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang
sudah lazim.
4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi
pangkal kontrol terhadap agama.
5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok
sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut
memerlukan integrasi sosial.
7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.
7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.
Teori Herbert Spencer tenang Evolusi
Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah
serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan
sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah
serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk
menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perspektif evolusioner adalah perspektif
teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya
berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer
(1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang
dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri
manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam
kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan
yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi
tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum
umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan
yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin
menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer
memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai
serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak
dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat
homogen ke tingkat heterogen.
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan
sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial
ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis,
anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis
yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk
perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi
oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini
dan pandangannya:
1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension)
Lamarck (1909).
2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
3. Teori tentang penemuan sel.
Membandingkan masyarakat
dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua
masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan
perkembangan masyarakat dan organisme:
1. pertumbuhan dalam ukurannya,
2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
3. diferensiasi fungsi.
Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke
dalam 3 kategori yaitu:
1. Unilinear theories of evolution.
2. Universal theory of evolution.
3. Multilined theories of evolution.
Spencer telah menggabungkan
secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The
Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik
menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas
metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro
berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh
dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu
adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu
orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.
KARL MARX
Marx, Kapitalisme, dan Komunisme
Karl Marx tidak semata-mata menjadi seorang
komunis dengan begitu saja. Banyak tokoh yang ikut andil dan berperan dalam
menjadikan Marx seorang yang berpandangan komunisme, antara lain Hegel,
Feuerbach, Smith, juga Engels. Keempatnya, terutama filsafatnya Hegel,
Feuerbach dan Engels, sangat kental mewarnai pemikiran Marx. Secara spesifik
memang filsafatnya Hegel, yaitu yang berkaitan dengan konsep dialektik, menjadi
titik tolak pemikiran Marx meskipun Marx mengkritisi filsafat itu karena
dianggapnya sangat idealistik dan memiliki konsep yang terbalik. Marx sendiri
mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai
struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga
menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum
buruh dalam semua proses produksi.
Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan
kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan
pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki
berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas
serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.
Dialektika dan Struktur Masyarakat
Kapitalis
Perkembangan pemikiran Marx
memang tidak lepas dari pengaruh filsuf-filsuf hebat seperti Hegel, Feuerbach,
Smith, juga Engels. von Magnis membagi lima tahap perkembangan pemikiran marx
yang dibedakan ke dalam pemikiran ‘Marx muda’ (young Marx) dan ‘Marx tua’
(mature Marx). Gagasan dan pemikirannya terutama diawali dengan kajiannya
terhadap kritik Feuerbach atas konsep agamanya Hegel yang berkaitan dengan
eksistensi atau keberadaan Tuhan. Marx yang materialistik benar-benar menolak
konsep Hegel yang dianggapnya terlalu idealistik dan tidak menyentuh kehidupan
keseharian.
Bagi Marx, agama hanya sekedar realisasi hakikat
manusia dalam imajinasinya belaka, agama hanyalah pelarian manusia dari
penderitaan yang dialaminya. Agama inilah yang merupakan simbol keterasingan
manusia dari dirinya sendiri. Marx mengadopsi sekaligus mengkritisi
dialektikanya Hegel yang dianggapnya tidak realistik itu. Marx juga menganggap
filsafatnya Hegel, yang idealistik itu, memiliki konsep yang terbalik.
Atas hal ini, Marx mengemukakan konsep dialektika
materialistik yang mengacu kepada berbagai konsep struktur sosial. Dimana di
dalamnya tercermin konflik sosial dengan yang menggambarkan upaya-upaya
pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses
produksi yang melibatkan dua kelas sosial yang berbeda, proletar dan borjuis.
Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada
suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena
runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial
dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi
obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis
terhadap sistem ekonomi kapitalis.
EMILE DURKHEIM
Durkheim dan Fakta Sosial
Durkheim yang dikenal taat
pada agama tetapi sekuler itu, dalam perjalanan ‘karirnya’ dipengaruhi oleh
tokoh-tokoh filsafat dan sosiologi, seperti Montesquieu, Rosseau, Comte,
Tocquueville, Spencer, dan Marx. Durkheim menyoroti solidaritas sosial sampai
patologi sosial yang juga mengkaji tentang kesadaran bersama, morfologi sosial,
solodaritas mekanik dan organik, perubahan sosial, fungsi-fungsi sosial,
termasuk solidaritas dan patologi sosial. Durkheim memang berangkat dari asumsi
bahwa sosiologi itu merupakan studi mengenai berbagai fakta sosial di mana di
dalamnya ia menguraikan mengenai konsep sosiologinya serta berbagai
karakteristik dari fakta-fakta sosial dimaksud.
Ia juga menjelaskanmengenai cara-cara
mengobservasi berbagai fakta sosial dengan melakukan analisi sosiologis.
Sedangkan mengenai fenomena moralitas yang menyangkut berbagai keyakinan,
nilai-nilai, dan dogma-dogma (yang membentuk realitas metafisik) ia dekati juga
dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Durkheim memang sepaham dengan
pemikiran Comte bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dapat membuat manusia hidup
nyaman. Upayanya untuk memahami berbagai fenomena bunuh diri melahirkan salah
satu karya besarnya Suicide (’Bunuh Diri’)
Bunuh Diri, Agama, dan Moralitas
Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide), itu memang merupakan penyimpangan perilaku seseorang. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide), itu memang merupakan penyimpangan perilaku seseorang. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilakukan oleh seseorang, menurut Durkhiem, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan,
pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan
yang mungkin terjadi. di mana unsur-unsur esensial dari agama itu mencakup
berbagai mitos, dogma, dan ritual, yang kesemuanya merupakan fenomena religius
yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’
(sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang
pemisahan antara keduanya menunjukkan kepada pemikiran-pemikiran religius yang
dilakukan manusia. Harus diperhatikan bahwa di dalam agama, khususnya yang
menyangkut ritual keagamaan, ada yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual
positif. Bagi Durkheim, moralitas itu merupakan suatu aturan yang merupakan
patokan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya
mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan
rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi.
MAX WEBER
Riwayat Hidup dan Sosiologi Max Weber
Max Weber adalah seorang
sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal
sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di
berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam
buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan
antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905
tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama
dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan
dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang
kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan
interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia,
tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya
dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang
kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang
korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti
membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang
menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini
barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah
laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas
memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini
sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan
kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan
hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat.
Marx dalam persoalan ini mengkhususkan
perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut
beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu
kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang
dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu
pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak
lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus
berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk
konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa
Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam
agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk
menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha
dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup
sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk
berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin
makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak
dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara
seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar